-->
  • Jelajahi

    Copyright © NUSANTARANOW.ID | Barometer Indonesia
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Latest News

    Debt Collector Yang Sakit

    NusantaraNow.id
    Kamis, 28 Agustus 2025, 17:34 WIB Last Updated 2025-08-28T10:46:46Z

     


    Tinjauan Kritis Muhamad Arsat


    NUSANTARANOW.ID | SELAYAR - Dalam praktik penagihan utang, keberadaan debt collector (sering disebut “deep kolektor” dalam istilah sehari-hari) kerap menimbulkan polemik. Alih-alih menjalankan tugasnya secara profesional, beberapa di antaranya justru menggunakan cara-cara intimidatif, kasar, bahkan melanggar hukum. Tindakan ini bisa dikaji menggunakan perspektif teori penyimpangan sosial, yang menjelaskan mengapa individu atau kelompok melakukan perilaku yang bertentangan dengan norma sosial maupun aturan hukum.


    Seorang debt collector idealnya berfungsi sebagai perantara antara kreditur dan debitur dengan menagih sesuai prosedur hukum. Namun, kesalahan debt collector kolektor di Kabupaten Kepulauan Selayar muncul dan mengagetkan warga Tana Doang, karena menggunakan kekerasan verbal saat menagih, mengambil paksa barang, mempreteli bagian esensial dari mobil yang sita, dan mengabaikan kode etik dan regulasi tentang tata cara penagihan.


    Perilaku ini jelas masuk kategori penyimpangan sosial karena bertentangan dengan norma hukum, norma etika, dan norma sosial yang berlaku. Penyimpangan sosial dalam antropologi dipahami sebagai perilaku, sikap, atau tindakan seseorang atau kelompok yang menyimpang dari norma budaya dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat tempat ia hidup.


    Menurut Robert K. Merton, penyimpangan terjadi ketika ada ketidaksesuaian antara tujuan dan cara yang tersedia. Misalnya tujuan debt collector adalah mengamankan pembayaran utang. Namun, karena tekanan target atau keterbatasan prosedural, mereka memilih cara-cara ilegal seperti intimidasi. Ini adalah bentuk innovative adaptation, yaitu mencapai tujuan dengan cara yang menyimpang. 


    Pqda dasarnya, masyarakat sering memberi label negatif pada profesi debt collector sebagai “preman berseragam.” Label ini dapat memperkuat perilaku menyimpang, karena ketika seseorang dicap buruk, ia cenderung menyesuaikan perilakunya dengan label tersebut. “Kesalahan dalam menagih”, bisa menjadi semakin sering karena debt collector menaggap itu menjadi bagian dari identitas profesinya.


    Kejadian di kabupaten kepulauan selayar menunjukan bahwa, penyimpangan muncul karena lemahnya ikatan sosial. Jika debt collector tidak memiliki keterikatan pada norma hukum, nilai etika, atau tidak ada pengawasan dari lembaga resmi, mereka lebih mudah melakukan pelanggaran. Karena minimnya pengawasan dan sanksi tegas memperkuat kecenderungan menyimpang.


    Harus diketahui bahwa kesalahan penagihan oleh debt collector tidak hanya merugikan debitur, tetapi juga menimbulkan rantai efek sosial lebih luas yaitu menciptakan rasa takut dan trauma di masyarakat; menurunkan kepercayaan pada lembaga keuangan; membentuk stigma negatif terhadap profesi kolektor secara keseluruhan ; dan potensi meningkatnya konflik horizontal antara kolektor dan warga.


    Dengan demikian, kesalahan debt collector dalam menagih adalah bentuk nyata penyimpangan sosial dan sakit mental karena lupa regulasi yang sebenarnya sudah diketahui atau tidak membaca regulasi secara mendalam. Untuk mencegahnya, dibutuhkan regulasi ketat, pelatihan etika, serta mekanisme pengawasan yang kuat. Dengan demikian, peran debt collector dapat kembali pada jalurnya yaitu menjalankan tugas menagih secara profesional tanpa melanggar norma hukum maupun norma sosial.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini