-->
  • Jelajahi

    Copyright © NUSANTARANOW.ID | Barometer Indonesia
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Latest News

    Pemotongan Dana Transfer 2026: Ancaman Krisis Fiskal bagi Sulawesi Selatan dan Otonomi Daerah

    NusantaraNow.id
    Senin, 13 Oktober 2025, 15:02 WIB Last Updated 2025-10-13T08:03:59Z


    Oleh : Muhammad Tasrif 


    NUSANTARANOW.ID Keputusan pemerintah pusat memangkas dana transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp269 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 menjadi pukulan berat bagi otonomi daerah, terutama untuk wilayah seperti Sulawesi Selatan (Sulsel) yang masih bergantung pada alokasi pusat. Dengan TKD nasional turun 24,8 persen dari Rp864,1 triliun (2025) menjadi Rp649,99 triliun, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut ini sebagai langkah efisiensi fiskal untuk program nasional. Namun, kebijakan ini justru mengancam pembangunan lokal, memperlebar ketimpangan, dan membebani rakyat Sulsel, terutama di daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) rendah.


    Sulsel menghadapi pemangkasan TKD sekitar Rp450 miliar, membuat proyeksi APBD 2026 hanya Rp10,9 triliun—meski naik tipis dari 2025, ini masih bergantung 48 persen pada dana transfer (Rp5,2 triliun), dengan PAD hanya Rp5,76 triliun. Gubernur Andi Sudirman Sulaiman terpaksa bernegosiasi dengan Kemenkeu, sementara Wakil Gubernur Fatmawati Rusdi memperingatkan risiko krisis fiskal yang dapat menghambat program prioritas seperti pembangunan jalan tol Trans-Sulawesi, irigasi pertanian, serta ketahanan pangan di daerah rawan kekeringan. Serapan APBD Sulsel yang baru 52 persen hingga September 2025—terendah di Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi—memperparah situasi. Proyek perbaikan jalan rusak dan bendungan tertunda, berpotensi memicu banjir musiman dan kerugian petani hingga miliaran rupiah. 


    Kebijakan ini didasarkan pada temuan penyelewengan dana dan rendahnya serapan anggaran di beberapa daerah, seperti Aceh yang hanya mencapai 35 persen dari target 70 persen pada triwulan II 2025. Namun, generalisasi ini tidak adil bagi daerah seperti Sulsel yang telah berupaya memperbaiki tata kelola. Alih-alih pemotongan massal, pemerintah pusat seharusnya memperkuat audit preventif melalui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau menerapkan sanksi bertahap. Pemangkasan ini mencerminkan kecenderungan sentralisasi, melanggar semangat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menjamin keseimbangan fiskal. Sementara dana dialihkan ke program nasional senilai Rp1.300 triliun (naik dari Rp900 triliun), distribusinya sering tidak merata, dengan isu korupsi seperti pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan bahwa pusat pun tak luput dari masalah serupa.


    Daerah-daerah di Sulsel dengan PAD rendah atau kabupaten pelosok, berada di ujung tanduk. Ketergantungan pada TKD membuat mereka kesulitan membiayai gaji ASN, tunjangan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), dan program nasional seperti MBG. Pakar UGM Wahyudi Kumorotomo menyebut ini memperburuk “flypaper effect”, di mana daerah semakin terjebak ketergantungan pada pusat. Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) memperkirakan defisit kolektif daerah PAD rendah bisa mencapai Rp1 triliun, meningkatkan risiko gejolak sosial seperti protes petani atau mogok pegawai. 


    Meski pemerintah pusat membuka peluang tambahan TKD Rp43 triliun pada 2026 jika serapan anggaran kuartal I-II optimal, solusi utama harus datang dari daerah sendiri untuk mengurangi ketergantungan. 


    Pemangkasan TKD 2026 bukan hanya soal efisiensi, melainkan ancaman nyata terhadap otonomi daerah dan kesejahteraan rakyat Sulsel. Kebijakan ini berpotensi memperlambat pembangunan, memperlebar ketimpangan, dan memicu beban pajak baru bagi rakyat kecil. Sulsel, dengan potensi budaya dan sumber daya alamnya, harus bangkit melalui inovasi dan tata kelola yang kuat. Pemerintah pusat harus menyadari bahwa pembangunan nasional tidak mungkin berhasil tanpa daerah yang mandiri. Dialog yang setara, bukan pemotongan sepihak, adalah jalan keluar. Rakyat Sulsel menanti aksi nyata, bukan janji efisiensi yang mengorbankan masa depan mereka. ( Red )

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini